Momentum Hari Santri Nasional 2018 ini terbilang spesial. Gaungnya lebih terasa. Tahun ini temanya Bersama Santri Damailah Negeri. Tema yang tepat. Selain bebarengan dengan tahun politik 2019, belakangan ini bangsa Indonesia memang tengah berduka dilanda bencana. Apa hubunganya, Santri, Pemilu, dan Bencana?
Jika ditilik dari sejarahnya, pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional dan disahkan oleh Presiden Joko Widodo berdasar Keppres Nomor 22 Tahun 2015 itu sebagai pengingat Resolusi Jihat yang dikobarkan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari. Waktu itu, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada para santrinya turut berjuang melawan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Perjuangan itu pantas kita ingat sebagai santari, generasi penerus negeri. Apalagi, di tengah kondisi persaingan global yang semakin ketat ini. Tentu sebagai santri kita harus terus meningkatkan kualitas kemampuan diri. Jangan cuma puas dengan peringatan Hari Santrinya. Tapi, persiapkan diri kita menghadapi tantangan ke depan.
Momentum Hari Santri Nasional 2018 ini aku katakan spesial, karena bersamaan dengan momentum Pemilu. Secara politik, kita merasakan. Bagaimana belakangan ini isue Suku Agama Ras Antar Golongan (SARA) cukup gencar. Belum lagi maraknya kasus HOAX dalam bingkai politik. Rasanya sudah mendegradasi standard kualitas politik nasional Indonesia ini, semakin merosot jauh. Aku tak ingin menyebut kasus apa dan kubu yang terkait. Aku ingin menyebut semua itu persoalan bangsa. Sehingga, kerangkanya adalah mencari solusi agar kualitas politik negeri ini naik kembali drajad dan martabatnya. Kita semua pasti sudah bosan. Di televisi menyaksikan politisi saling adu argumen tak ada yang mau mendengar. Mereka kekeh dan terus bicara. Semua bicara. Sampai pemandu acaranya kualahan. Membosankan. Tak ada solusinya.
Bersamaan dengan momentum hari Santri ini. Aku berharap para santri dapat duduk dan berdiri pada posisi yang tepat. Sehingga, jika harus masuk ke dalam ranah politik tetap mengedepankan politik kebangsaan. Meski sangat wajar dan dapat dipahami. Santri di tahun politik nanti rata-rata akan berpihak pada pasangan Ir. Joko Widodo - KH. Makruf Amin. Khusunya, yang dari kalangan Nahdliyin. Sebab, figur KH. Makruf Amin yang merupakan guru para santri. Saat ini terpilih mendampingi Presiden Jokowi. Di sisi lain, santri dari kalangan lainya seperti Muhammadiyah dan PKS tentunya mungkin akan memilih Prabowo dan Sandiaga Uno.
Begitu rata-rata prediksinya. Meski sebenarnya, aku berharap santri bersatu. Bermusyawarah dan menentukan pilihan sebagai resolusi jihat di momentum Hari Santri ini. Dari kalangan mana pun, bisa kompak. Jika pun nanti ternyata apa yang diputuskan tak berbuah kemenangan. Siapapun presiden terpilih, santri akan menjadi garda terdepan. Membantu dan mengingatkan jalannya pemerintahan. Demi Indonesia. Demi Islam rahmatanlilalamin.
Sebagai analisis. Menurutku, kalangan santri dan keluarga NU sudah tentu memilih ndherek Mbahkyai Makruf Amin. Bagi santri ndherek Kyai lebih berkah dan menentramkan. Maski hanya bertugas menatakan sandal Kyai, mencuci mobilnya. Pekerjaan itu lebih dipilih dari pada kerja di luar dengan gaji besar.
Dengan semua kondisi itu, Peringatan Hari Santri kali ini bagiku tak hanya sekedar mengenang Resolusi Jihat. Tetapi sekaligus menjadi momentum penentuan Resolusi Jihat politik untuk Indonesia masa depan. Dengan tonggak ini, santri dan politik kini tak dapat dipisahkan lagi. Karena jihat politik untuk membawa masa depan bangsa menjadi salah satu tugas santri. Memperbaiki diri terus menerus. Itu PR ku.
Yang membuat aku sedih. Bersamaan dengan peringatan Hari Santri kali ini, belakangan ini bangsa kita tengah dilanda bencana. Gempa dan Tsunami. Di Lombok dan Palu. Dan daerah lainya. Belum lagi persoalan ekonomi bangsa. Kekeringan. Tawuran berakibat pembunuhan, supporter bola tanah air. Perkosaan berakhir dengan pembunuhan. Banyak lagi persoalan moral bangsa. Khusunya, soal korupsi. Santri, diharapkan menjadi kelompok yang mampu menjadi pembeda. Menjadi bagian dari solusi seluruh persoalan bangsa. Meski tak dipungkiri, santri juga manusia biasa. Tak luput dari salah dan keliru. Namun, dengan budaya ketimuran Indonesia. Santri menjadi sosok ideal. Sosok yang masih diharapkan. Membawa kemajuan. Membawa kedamaian negeri ini.
Dalam peringatan Hari Santri ini, para santri membaca sholawat nariyah untuk kedamian negeri. Selamat Hari Santri Nasional. Damai untuk semua. Semoga.
Jika ditilik dari sejarahnya, pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional dan disahkan oleh Presiden Joko Widodo berdasar Keppres Nomor 22 Tahun 2015 itu sebagai pengingat Resolusi Jihat yang dikobarkan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari. Waktu itu, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada para santrinya turut berjuang melawan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Perjuangan itu pantas kita ingat sebagai santari, generasi penerus negeri. Apalagi, di tengah kondisi persaingan global yang semakin ketat ini. Tentu sebagai santri kita harus terus meningkatkan kualitas kemampuan diri. Jangan cuma puas dengan peringatan Hari Santrinya. Tapi, persiapkan diri kita menghadapi tantangan ke depan.
Momentum Hari Santri Nasional 2018 ini aku katakan spesial, karena bersamaan dengan momentum Pemilu. Secara politik, kita merasakan. Bagaimana belakangan ini isue Suku Agama Ras Antar Golongan (SARA) cukup gencar. Belum lagi maraknya kasus HOAX dalam bingkai politik. Rasanya sudah mendegradasi standard kualitas politik nasional Indonesia ini, semakin merosot jauh. Aku tak ingin menyebut kasus apa dan kubu yang terkait. Aku ingin menyebut semua itu persoalan bangsa. Sehingga, kerangkanya adalah mencari solusi agar kualitas politik negeri ini naik kembali drajad dan martabatnya. Kita semua pasti sudah bosan. Di televisi menyaksikan politisi saling adu argumen tak ada yang mau mendengar. Mereka kekeh dan terus bicara. Semua bicara. Sampai pemandu acaranya kualahan. Membosankan. Tak ada solusinya.
Bersamaan dengan momentum hari Santri ini. Aku berharap para santri dapat duduk dan berdiri pada posisi yang tepat. Sehingga, jika harus masuk ke dalam ranah politik tetap mengedepankan politik kebangsaan. Meski sangat wajar dan dapat dipahami. Santri di tahun politik nanti rata-rata akan berpihak pada pasangan Ir. Joko Widodo - KH. Makruf Amin. Khusunya, yang dari kalangan Nahdliyin. Sebab, figur KH. Makruf Amin yang merupakan guru para santri. Saat ini terpilih mendampingi Presiden Jokowi. Di sisi lain, santri dari kalangan lainya seperti Muhammadiyah dan PKS tentunya mungkin akan memilih Prabowo dan Sandiaga Uno.
Begitu rata-rata prediksinya. Meski sebenarnya, aku berharap santri bersatu. Bermusyawarah dan menentukan pilihan sebagai resolusi jihat di momentum Hari Santri ini. Dari kalangan mana pun, bisa kompak. Jika pun nanti ternyata apa yang diputuskan tak berbuah kemenangan. Siapapun presiden terpilih, santri akan menjadi garda terdepan. Membantu dan mengingatkan jalannya pemerintahan. Demi Indonesia. Demi Islam rahmatanlilalamin.
Sebagai analisis. Menurutku, kalangan santri dan keluarga NU sudah tentu memilih ndherek Mbahkyai Makruf Amin. Bagi santri ndherek Kyai lebih berkah dan menentramkan. Maski hanya bertugas menatakan sandal Kyai, mencuci mobilnya. Pekerjaan itu lebih dipilih dari pada kerja di luar dengan gaji besar.
Dengan semua kondisi itu, Peringatan Hari Santri kali ini bagiku tak hanya sekedar mengenang Resolusi Jihat. Tetapi sekaligus menjadi momentum penentuan Resolusi Jihat politik untuk Indonesia masa depan. Dengan tonggak ini, santri dan politik kini tak dapat dipisahkan lagi. Karena jihat politik untuk membawa masa depan bangsa menjadi salah satu tugas santri. Memperbaiki diri terus menerus. Itu PR ku.
Yang membuat aku sedih. Bersamaan dengan peringatan Hari Santri kali ini, belakangan ini bangsa kita tengah dilanda bencana. Gempa dan Tsunami. Di Lombok dan Palu. Dan daerah lainya. Belum lagi persoalan ekonomi bangsa. Kekeringan. Tawuran berakibat pembunuhan, supporter bola tanah air. Perkosaan berakhir dengan pembunuhan. Banyak lagi persoalan moral bangsa. Khusunya, soal korupsi. Santri, diharapkan menjadi kelompok yang mampu menjadi pembeda. Menjadi bagian dari solusi seluruh persoalan bangsa. Meski tak dipungkiri, santri juga manusia biasa. Tak luput dari salah dan keliru. Namun, dengan budaya ketimuran Indonesia. Santri menjadi sosok ideal. Sosok yang masih diharapkan. Membawa kemajuan. Membawa kedamaian negeri ini.
Dalam peringatan Hari Santri ini, para santri membaca sholawat nariyah untuk kedamian negeri. Selamat Hari Santri Nasional. Damai untuk semua. Semoga.