Sudah sebulan ini sungai di samping rumah Adinda hilang
jernihnya. Warnanya ungu dan bercampur minyak, cayanya meling-meling bak
pelangi yang sedang berduka. Sampah berserakan dan bau busuknya menguar tajam.
Setiap kali Dinda berjalan melewatinya, dia harus menutup hidungnya
rapat-rapat.
Sejak bapak dan ibunya jatuh sakit. Tak ada lagi yang
menjaga sungai itu. Orang-orang satu persatu membuang sedikit sampah rumah
tangganya. Awalnya cuma dilakukan oleh seorang warga yang rumahnya dekat sungai
itu. Warga itu merasa tak akan berdampak apa-apa pada satu sampah kulit pisang
yang dibuangnya sembarangan. Dia tidak tahu ternyata orang lain ikut meniru dan
memiliki pikiran yang sama persis seperti apa yang dia pikirkan, sedikit sampah
yang dibuanagnya tak akan memberi dampak apa-apa. Jika bapak dan ibu tak sakit.
Sedikit sampah yang ada di sekitar aliran sungai itu segera dibersihkannya.
“Hidup ini memang harus dijalani selangkah demi
selangkah, begitu pula pekerjaan sehari-hari kita, harus dikerjakan sedikit
demi sedikit. Pun juga demikian dengan tugas-tugas sekolah kamu itu jangan
pernah menunda-nunda pekerjaanmu itu.” Itu lah nasehat bapaknya saat Dinda
mengeluhkan tugas sekolahnya yang bejibun jumlahnya.
Sejak kecil bapak dan ibu memang suka menjaga kebersihan
sungai itu. Bahkan sungai itu juga lah yang mempertemukan mereka. Warga
menemukan dua anak itu dalam keadaan pingsan di sungai yang sama meski di
tempat yang berbeda.
Awalnya mereka mengira dua anak itu bersaudara. Namun,
setelah sadar Dhamar dan Wulan adalah dua anak yang berbeda. Keduanya sama-sama
sudah tak memiliki keluarga. Karena hal itu Dhamar dan Wulun mendapat julukan
anak sungai oleh warga desa itu.
Dhamar dan Wulan senang dengan panggilan akrab warga
yang telah menyelamatkannya itu. Karena julukan itu pula lah Dhamar dan Wulan
merawat sungai itu dan memperlakukanya seperti orang tuanya sendiri. Tanah dan
batu di sungai itu dianggapnya ibu dan air dipanggilnya ayah. Mereka memberi
nama Siti pada ibunya dan Tirta pada ayahnya.
Sejek ditemukannya anak-anak itu. Warga sepakat agar
Dhamar di pelihara oleh Pak Tarno guru Sekolah Dasar di kampung itu yang sangat
minim gajinya namun sangat ingin mengangkat Dhamar menjadi anaknya.
“Nak, kamu mau kan tinggal bersama bapak, nanti akan aku
ajarkan bagaimana cara berhitung dan membaca.” Itulah rayuan Pak Tarno pada
Dhamar kecil dan nampak ketakuatan dengan banyaknya wajah asing mengerumininya
di kantor desa.
Pak Tarno yang berpengalaman mengahadapi anak-anak
dengan mudah meyakinkan Dhamar agar mau diasuhnya. Awalnya Dhamar tak tertarik
tapi setelah Pak Tarno menunjukkan beberapa hal yang berkaitan dengan ilmu
fisika dan trik sulap yang sering diperagakannya di kelas membuat Dhamar
tertarik dan ingin belajar banyak hal lagi dengan Pak Tarno, seperti kebiasaanya
di kelas tiap menunjukkan kemampuannya dia minta pada semua orang yang hadir
untuk membantunya, dan orang-orang yang hadir akan berteriak prok prok prok
ketika Pak Tarno bilang dibantu ya dibantu, hal itu sangat menggelitik Dhamar
dan mampu membuatnya nyaman.
Wulan yang sangat lemah tak bisa lagi berfikir apa-apa.
Dia hanya butuh tempat yang nyaman untuk mengembalikan kondisinya. Sesuai
dengan hasil musyawarah, warga memutuskan Wulan tinggal bersama Pak Bakri dan
Bu Devi istrinya, karena keduanya adalah seorang pengusaha kaya. Warga berharap
Wulan mendapatkan perawatan terbaik karena kondisinya yang sangat lemah.
“Wulan, makan dulu sayang biar segera pulih dan bisa
segara pulang ke rumah,” ucap Bu Devi ketika melihat Wulan mulai sadar setelah
beberapa lama pingsan di rumah sakit.
“Ibu siapa?” nampak bingung sambil membenarkan posisi
untuk bersandar, Bu Devi membantunya dengan menambah bantal di belakangnya.
“Aku Bu Devi, istrinya Pak Bakri yang menemukanmu
pingsan di sungai, Wulan mau kan jadi anak ibu?” ucapnya penuh kelembutan.
“Iya, Wulan juga sudah bilang sama Pak Bakri akan patuh
dan taat dengan beliau.” Ucap Wulan lugu.
“Anak pintar, makan dulu ya sayang.” Sambil menyuapi
bubur yang sudah tersedia di meja.
Pak Bakri pulang dari tempat kerjanya langsung menuju
rumah sakit. Seharian ini pikirannya selalu terganggu dengan bocah yang baru
saja ditemukannya. Dia kesengsem dengan keluguan dan kelucuan bocoh itu,
tingkahnya, ucapannya, dan yang paling dikangeninya adalah kerling matanya.
“Anak Papa sudah bangun?” ucapnya riang begitu melihat
Wulan sudah siuman.
“Makan yang banyak biar cepet gede,” ledeknya saat
melihat istrinya menyuapinya, sambil mengacak-acak rambut panjang Wulan. Wulan
hanya nyengir onta melihat Papanya yang mulai hobi meledeknya sejak mulai akrab
setelah pertemuannya di kantor desa.
“Ah, Papa dateng-dateng iseng aja kerjaannya.” Sambil
memberikan ciuamn mesra di pipi kiri dan kanan suaminya. Pak Bakri menanggapi
istrinya dengan senyum. Dokter mulai masuk ruangan di mana Wulan dirawat.
Bersiap memeriksa kondisinya.
“Sepertinya Wulan sudah bisa dibawa pulang Pak Bakri, Bu
Devi.” Nada suara dokter itu terdengar akrab.
“Oh ya, syukurlah. Terima kasih banyak ya Dok,” ucap pak
Bakri penuh kebahagiaan.
Di rumah yang megah itu Wulan diperlakukan seperti putri
raja. Segala yang diminta dituruti. Sangat berbeda dengan Dhamar yang harus
rajin bekerja dan membantu kerjaan Pak Tarno. Meski jarang bertemu dengan kedua
orang tuanya yang sangat sibuk dengan kerjaannya itu. Wulan dan Dhamar tak
pernah kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua angkatnya. Hanya
kadang-kadang rasa sepi menghampirinya ketika mereka sibuk bekerja.
Setiap pagi Pak Tarno sudah berangkat ke sekolahan untuk
mengejar. Dhamar hanya bisa bermain sendiri karena teman bermainya berangkat
sekolah semua. Wulan juga demikian, setiap pagi hingga malam Pak Bakri dan Bu
Devi sudah sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Mereka hanya bisa bersama
saat hari libur saja atau malam hari selepas mereka pulang bekerja.
Pagi ini Dhamar dan Wulan sama-sama berencana pergi
mengunjungi orang tua mereka. Awalnya hanya Dhamar yang bercerita pada sungai
itu hingga dia menemukan sebuah nama untuk ayah dan ibunya. Waktu itu Wulan tak
sengaja mendengar dan memperhatikan setiap gerak gerik Dhamar. Hingga, Wulan
tertarik dan juga ingin memanggil sungai itu seperti yang Dhamar lakukan agar
dia juga bisa menceritakan setiap suka dukanya dan membagi keluh kesahnya pada
orang tuanya itu.
Saat Wulan sedang mengharu biru curhat dengan orang
tuanya di sungai itu, tanpa sengaja Dhamar mendengar semua cerita Wulan.
Setelah terdiam sekian lama Dhamar menghampiri Wulan.
“Nasib kita sama ya,” ucap Dhamar sambil mencari tempat
duduk di sebelah Wulan.
“Eh Dhamar, iya nasib kita sama, sama-sama anak sungai
he,” ucapnya setengah bercanda.
Sudah sejak lama Wulan ingin sekali membuka percakapan
dengan Dhamar tapi karena Dhamar selalu sibuk dengan kerjaannya sehingga
niatnya itu diurungkannya. Dan sekarang dia merasa pucuk dicinta ulam pun tiba
saat Dhamar menghampirinya. Hal yang sama juga dirasakan Dhamar yang sejak lama
menyimpan rasa dan niatnya untuk bisa dekat denganya namun karena merasa rendah
diri dan minder dengan derajatnya karena Wulan adalah anak orang kaya.
Sejak itu mereka selalu menghabiskan waktu berdua,
membersihkan sungai sudah menjadi rutinitas wajib harian mereka. Berangkat dan
pulang sekolah bersama hingga lulus SMA. Karena terlalu sering berdua warga
mulai sering membicarakan mereka. Atas saran pamong desa melalui Pak Tarno dan
Pak Bakri, Dhamar dan Wulan dinikahkan.
Selain restu dari kedua orang tua angkat merka juga
meminta restu dari Bu Siti dan Pak Tirta sehingga ijab qobulnya diadakan di
daerah sungai. Meski pun yang di sungai hanya disaksikan oleh orang-orang
terdekatnya. Berita itu membuat gempar seluruh warga, berbagai tanggapan pun
bermunculan, dari di anggap syirik dan gila, namun ada yang memaklumi karena
dari kecil mereka memang menjuli kedua ank itu sebagai anak sungai. Apalagi
sejak ditemukan dua anak itu sungai menjadi bersih dan irigasi lancar.
***
Setahun setelah pernikahannya Dhamar dan Wulan
dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita. Adinda Putri Rivera
namanya. Sejak kecil Adinda sering diajak ke sungai menemui kakek dan neneknya.
Merawat dan membersihkannya. Namun Dinda sering protes jika melihat Bapak dan
Ibunya bicara dengan sungai, tanah dan batu. Dinda pernah marah dengan kelakuan
aneh kedua orang tuanya itu.
“Ibu dan Bapak ini gimana! Kata guru ngaji dan guru
agama Dinda, apa yang bapak dan ibu lakukan ini syirik lho, teman-teman Dinda
juga suka mengatai Dinda ini anak orang gila. Karena bapak dan ibu menganggap
sungai ini orang tua kalian.” Begitu ucapnya meluncur dengan sendirinya karena
kesal dengan ejekan kawan-kawannya di sekolah.
“Dinda sayang, bapak dan ibu ini waras lho. Apa Dinda
juga berpandangan sama seperti mereka?” ucap Pak Dhamar.
“Ya enggak lah, tapi kenapa bapak dan ibu melakukan ini
semua,” ucap dinda tegas meminta penjelasan.
“Bapak dan Ibumu ini selamat dari kecelakaan pesawat
karena bapak dan ibu kami, almarhum kakek dan nenekmu melempar kami ke sungai
besar, hingga kita terbawa arus terdampar di sungai ini dan ditemukan warga
desa ini. Sebagai ungkapan terima kasih dan ungkapan syukur atas segal karunia
Yang Mahakuasa kami mengabdikan diri pada sungai ini.” Pak Dhamar menjelaskan
kisah mereka ditemukan. Dinda mencoba mengerti dan memahami kisah yang
mengharukan itu.
“Dinda kan sudah gede, dan pintar seharusnya bisa
membedakan mana yang baik dan bukan? Mana yang gila dan mana yang waras.” Ucap
Bu Wulan menegaskan agar Dinda tidak mudah terbawa amarah.
“Nah sekarang kan Dinda sudah tahu kenapa Bapak dan Ibu
berbuat demikian. Jika menurut Dinda ini adalah perbuatan yang sia-sia, Dinda
boleh kok tidak melakukannya. Tapi bapak dan ibu merasa damai di sini sayang,”
lanjut Bu Wulan dengan mata berkaca-kaca. Dinda memeluk ibunya. Dan menyesal
telah membuat mereka mengingat lagi kisah sedih di masa lalunya.
“Maafkan Dinda,” ucapnya lemah.
“Sudahlah, yang penting keluarga kita hidup rukun
bahagia, terserah orang lain mau berkata apa, Asal tak merugikan dan menggangu
satu dan lainnya.” Ucap Pak Dhamar bijak.
“Sebulan sekali kamu harus menjenguk kakek dan nenek
Dinda. Jagalah dan rawatlah mereka,” itulah pesan bapak dan ibunya. Yang sudah
dijalankannya hingga SMA ini. Dan sebulan ini dia sangat sibuk dengan
sekolahnya. Hari ini adalh jadwalnya mengunjungi kakek dan nenek mereka yang
ada di Sungai. Pak Tarno, kakek angkat dari bapaknya sudah meninggal saat dia
berumur dua tahun, dan Pak Bakri dan Bu Bakri kakek dan nenek dari ibunya
meninggal saat usianya enam tahun dalam kecelakaan Kereta saat melakukan
perjalanan bisnis.
***
Sudah berbulan-bulan ini Dinda kesulitan membersihkan
sungai yang sudah tercemar airnya itu. Dia hanya mampu membersihkan
sampah-sampah yang berserakan. Warna airnya tak lagi jernih seperti dulu. Dinda
belum tahu penyebab air sungai menjadi bau dan tercemar.
Kali ini dia
sangat kesal dan menyesal ketika mengenang dan mengingat semua kejadian yang
dialami bersama kedua orang tuanya. Dia menceritakan pada kakek dan neneknya
semua yang dia alami. Hal yang dulu dianggapnya bodoh itu kini ia lakukan. Saat
kedua orang tuanya sehat dia jarang bercerita banyak hal pada kakek dan
neneknya di sungai seperti sekarang ini. Dia begitu mengharu biru menceritakan
semua beban hidupnya. Hingga langit menggelegar, mendung mengepung, hujan luruh
jatuh membasahi bumi seakan tak kuasa membendung kesedihan yang disaksikannya.
“Kakek, sekarang aku sudah kelas tiga SMA. Dari SD
teman-teman suka sekali mengejekku anak sungai. Mereka menyindir bapak dan ibu
itu gila. Dan aku dikatai anak dari kedua orang tua yang sama-sama gila.
Sebetulnya aku juga bingung karena ini semua sungguh hal yang tak bisa masuk
logika dan nalar akal sehat. Tapi setiap kali melihat sungai hatiku menjadi
damai. Aku merasakan apa yang selama ini ibu dan bapak rasakan. Sekarang bapak
dan ibu sakit karena dari kecil mereka biasa memperoleh makanan dan minuman
dari sungai, bapak dan ibu menggap itu pemberianmu. Dan bapak dan ibu tak mau
menghentikan kebiasaanya itu sedangakan airmu sudah sangat tercemar,
ikan-ikanmu juga banyak yang mati, tanaman di sawah dan ladang juga mati karena
aliranmu. Bapak tak mau makan dan minum dari hasil yang lain, dia mengira kakek
dan nenek marah. Apa yang harus aku lakukan?” dalam kegundahan itu air hujan
mengguyur semakin lebat. Air sungai mengalir berubah menjadi deras, warna kotor
ungu dan bau itu berubah menjadi coklat susu campuran air hujan dan lumpur.
Ikan dan binatang sungai lainya terlihat mengambang. Berkejaran terbawa arus.
“Dinda! Dinda! Dinda!!” Ardika, tetangga Dinda berteriak
sambil berlari mendekati Dinda. Dia bingung harus mengawali dari mana. Berita
duka memang tak mudah untuk disampaikan. Petir menyambar, Guntur menggelegar,
sungai semakin deras mengalir. Arusnya hampir memenuhi pembatas sungai beberapa
sudah melompat ke daratan.
“Ada apa Dik?” tanyanya penasaran.
“Em, kamu harus segera pulang.” Ucapnya ragu.
“Ada apa?” tanya Dinda lagi menegaskan.
“Em, nanti kamu juga akan tahu.” Jawabnya singkat,
sambil menarik tangan Dinda untuk segera pulang. Dinda mengikuti saja meski
dibenaknya masih diselimuti rasa penasaran.
Rumah dinda sudah dipenuhi warga sekitar. Dinda semakin
takut, tak sanggup membayangkan sebagaimana hal yang sudah bisa diduganya.
Warga memakai pakaian serba hitam. Bendera merah sudah di pasang di beberapa
ruas jalan.
“Siapa yang meninggal?” ucapnya perlahan. Dia takut
mengungkapkan apa yang sedang berkecamuk dibenaknya. Yang mengisyaratkan bahwa
yang meninggal adalah orang tuanya yang sedang sakit parah.
Begitu masuk rumah dan melihat kedua orang tuanya sudah
terbaring tak berdaya, di sentuhnya tanganya, Dinda mencoba memeriksa kedua
orang tuanya berharap masih ada tanda-tanda kehidupan. Digoyang-goyangkannya
tubuh kedua orang tuanya itu.
“Bapak, Ibu, bangunlah….jangan tinggalkan Dinda
sendiri,” tangisnya meledak, Dinda tak mampu mengendalikan kesedihannya dan
terjatuh pingsan. Warga melarikannya ke rumah sakit. Ardika menjaganya dirumah
sakit itu sendirian. Karena warga yang lain harus menyiapkan prosesi pemakaman.
***
Sudah seharian ini Dinda belum juga sadar, Pak Parmin
ayah Ardika menggantikanya berjaga. Pak Parmin berharap Dinda segera siuman.
Surat yang ditemukannya di bangku saat orang tuanya meninggal ditujukan
padanya.
Sepulang sekolah Ardika langsung menuju rumah sakit.
Dinda belum juga sadar. Pak Parmin menitipkan surat wasiat itu agar diberikan
pada Dinda jika dia siuman.
“Aku pulang dulu, jangan lupa suratnya diberikan ke
Dinda.” Ucap Pak Parmin sebelum meninggalkan Ardika.
Dinda sudah tak mempunyai saudara dan orang tua, semua
sudah pergi meninggalkannya. Sehingga Pak Parmin tetangga terdekatnya merasa
bertanggung jawab menjaganya.
“Dik, Dinda itu sudah tidak punya siapa-siapa. Kita
tetangga terdekatnya inilah yang sekarang menjadi saudaranya.” Begitu pesan Pak
Parmin memahamkan Ardika anak semata wayangnya itu. Karena Pak Parmin tahu dari
kecil hingga sekarang Dinda dan Ardika selalu berantem. Padahal mereka sejak
kecil bersama. Sejak itu Ardika mulai mengalah dengan Dinda. Dan membuang
jauh-jauh rasa jengkelnya.
Dengan sabar Dika menunggui Dinda, hingga dua hari ini
dia mulai bisa sadar. Tangannya bergerak perlahan. Matanya terbuka dan
kesadarannya kembali sepenuhnya.
“Ibu! Bapak!” teriak Dinda ketika mengingat kedua orang
tuanya. Dika yang tertidur di sampingnya tergeragap.
“Dinda tenang, kamu ini di rumah sakit,” ucapnya mencoba
menenangkan.
“Dika, apa yang terjadi?” tanyanya bingung.
“Kamu tadi pingsan, nanti aku ceritakan, sekarang aku
panggil dokter dulu ya?” Pintanya pelan, Dinda hanya mengangguk perlahan.
Tak lama Dika masuk lagi keruangan bersama dengan dokter
dan suster. Setelah diperiksa suster memberinya makan dan minum. Dinda hanya
pasrah menuruti segala permintaan dokter dan suster itu.
“Gimana Dok?” tanya Dika serius.
“Sudah baikan, nanti setelah tiga jam istirahat bisa
dibawa pulang.” Ucap dokter itu menjelaskan. Setelah memberikan resep untuk
ditebus di apotik dokter dan suster itu kembali meninggalkan ruangan itu.
“Gimana Dik? Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Dinda,
masih jelas rasa penasarannya dari nada suaranya. Dika menjelaskan dengan
runtut semua yang terjadi.
“Ini surat yang ditujukan ke kamu, bapak memberikannya
padaku agar dikasikan ke kamu begitu kamu sadar,” ucapnya setelah yakin Dinda
bisa menerima keadaan.
Dinda Putri Rivera
sayang
Kami harap Dinda
bisa ikhlas. Bapak dan ibu pergi dulu. Sudah waktunya kami menyusul kakek dan
nenekmu. Kamu baik-baik jalani hidup. Jangan lupa pesan-pesan bapak dan ibu,
kunjungi kakek dan nenekmu di sungai. Gunakan warisan bapak dan ibu untuk
kebahagiaanmu. Kalau bisa carilah cara agar sungai itu kembali jernih seperti
dahulu. Bapak dan ibu sudah tak kuat lagi. Bapak dan ibu minta maaf jika selalu
menyusahkannmu. Kami sangat menyayangimu. Pelukan hangat untuk putri tercinta.
Jangan menangis. Ingat pesan kakek Bakri he... tersenyumlah, agar ringan jalani
hari-harimu.
Salam sayang
Bapak dan ibu
Dinda hanya bisa menangis sambil meneggelamkan wajahnya
ke dalam bantal. Dika tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya diam. Menunggu
Dinda tenang kembali.
“Dinda yang tabah ya,” akhirnya ada kata yang bisa Dika
keluarkan dari lidahnya yang kelu. Mendengar suara Dika, Dinda langsung
memluknya. Dia menagis sejadi-jadinya. Dika semakin bingung harus berbuat apa.
“Maaf ya jika aku salah bicara.” Mendengar ucapan Dika,
Dinda bukan mereda tangisan Dinda malah semakin keras dan pelukannya semakin
kencang.
Setelah beberpa lama Dinda mulai tenang. Dia mulai
melepas pelukannya. Dika memberinya minum. Setelah benar-benar tenang Dika dan
Dinda sama-sama tersipu malu.
“Ada apa?” tanya Dika mencari tahu.
“Dalam surat ini bapak dan ibu memintaku melakukan
sesuatu untuk mengmbalikan kejernihan aliran sungai itu,” ucapnya bingung.
“Oh, baiklah aku akan membantumu. Aku pernah baca buku
diperpus, ada beberapa cara untuk mengembalikan kejernihan air dari pencemaran.
Sekarang kamu pulihkan kondisimu dulu baru kita pikirkan hal itu.” Ucapnya
meyakinkan. Dari tatapan mereka yang terpadu menimbulkan gejolak rasa yang tak
pernah mereka rasakan sebelumnya. Tak menyangka dari kecil bertengkar bisa
berubah sedekat ini.
“Oya, kata bapak sebaiknya kamu tinggal bersama kami,
itu jika kamu berkenan.” Ucap Dika menjelaskan pesan bapaknya yang mulai
kembali diingatnya.
“Maksih atas semua kebaikanmu sekeluarga, sepertinya aku
bisa tinggal sendiri. Bapak dan ibu sudah menyiapkan hari ini jauh-jauh hari
dengan mengajariku mandiri, inilah saatnya aku membuktikan bahwa aku bisa
mandiri.” Ucapnya berbinar. Dinda tak lagi sedih karena itulah pesan bapak dan
ibunya. Dia tahu bapak dan ibunya tak akan tenang jika Dinda tak bisa
mengikhlaskan kepergiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Absen dl y,,