Teori-Teori yang Terkait Poskolonialisme

Postmodernisme adalah aliran filsafat yang sering dikaitkan dengan poststrukturalisme. Sementara postrukturalisme merupakan kelanjutan dari aliran filsafat strukturalisme yang berkembang di Prancis pada tahun 1960-an. Dalam pandangan Steven Best dan Kellner (2003: 27) bahwa;
Poststruklturalisme membentuk acuan teori postmodern, dan ketika dobrakan teoritis digambarkan sebagai postmodern yang secara langsung terkait dengan kritik-kritik poststrukturalis, orang akan menginterpretasikan postrukturalisme sebagai rangkaian rentang luas dari kecenderungan teoritis, kebudayaan dan sosial yang membentuk wacana-wacana postmodern.
Lebih lanjut, Best dan Kellner juga memandang bahwa postmodern lebih inklusif dari poststrukturalis yang diintrepretasikan sebagai sebuah kritik teori modern dan suatu hasil model-model pemikiran, tulisan dan subjetifitas baru yang beberapa di antaranya kemudian diadopsi oleh teori postmodern. Namun, satu yang pasti bahwa teori postmodern menyesuaikan kritik poststrukturalis terhadap teori modern, meradikalisasinya dan memperluasnya ke dalam bidang-bidang teoritis baru (2003: 27).
Awalan post pada pada kata postmodernitas mengandung makna ide bahwa manusia sekarang tengah berada di era peradaban di luar kondisi modernitas yang diteorikan oleh sebagian besar teoritisi Barat, termasuk Comte, Durkheim, Weber dan Marx (Agger, 2003:72). Lebih lanjut, awalan post berarti bahwa pemahaman modernitas sebelumnya gagal menjelaskan perkembangan luar biasa dalam tahap peradaban manusia saat ini. Artinya, teori sosial postmodern mencoba menteorikan perkembangan ini dengan menggunakan teori modernitas dan menciptakan pemahaman baru. Zaman postmodern dalam pandangan Agger ditandai dengan globalisasi, lokalitas, akhir dari “akhir sejarah, kematian individu, mode informasi, simulasi, perbedaan dan penundaan dalam bahasa, polivokalitas, kematian polaritas analitis, gerakan sosial baru, kritik atas narasi besar, dan keliyanan (otherness).
Gagasan postmodern tersebut dibangun oleh pemikir-pemikirannya yang beralasal dari berbagai latar perspektif sosiologis. Pemikiran kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga (Norris, 2008:6-7)Pertama, yang merevisi pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran pra-modern seperti metafisika New Age. Kedua, pemikiran-pemikiran yang terkait dengan dunia sastra dan linguistik. Bahasa yang secara tradisional dipandang sebagai cermin realitas ingin dilampaui dari kalangan pemikir ini. Ketiga, pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya.
Dari berbagai matra pemikiran kaum postmodernis tersebut, teori yang cukup relevan bagi teori poskolonial adalah gagasan Derrida. Derrida membangun kritik pada kaum strukturalis yang terlalu menekankan pada bineritas penanda dan petanda. Oposisi biner sebagaimana yang dijelaskan Derrida dalam menanggapi pandangan Saussure terdapat hirarki antara yang dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan. Gagasan awal Derrida berupaya membongkar bineritas antara ujaran (speech) dan tulisan (writing) (Norris, 2008).
Di samping itu, Derrida juga memerkenalkan teori tentang dekonstruksi. Gagasan tentang dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode membaca teks (Norris, 2008: 11). Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Komitmennya berkutat pada analisis menyeluruh terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan masalah-masalah internal di dalam makna tersebut yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan (Arismunandar, 2009).
Lebih lanjut, dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Titik tekan pemikiran Derrida sebagaimana pemikir poststrukturalis lain pada prinsipnya menolak ‘keliyanan’. Gagasan tersebut merupakan bentuk resistensi yang dibangun Derrida atas otoritas petanda dalam diskursus linguistik strukturalis. Sebagaimana Derrida, Michel Foucault, tokoh poststrukturalis lain juga melakukan analisa kritis narasi besar dan bineritas dalam kaitannya dengan pengetahuan dan kekuasaan. Dalam arkeologi ilmu pengetahuan Foucault, bercermin pada pembahasan strukturalis mengenai bahasa, tertarik pada penyelidikan peristiwa-peristiwa diskursif, pernyataan yang dibisarakan dan dituliskan (Ritzer, 2008: 67).
Lebih lanjut, ketertarikan Foucault pada pernyataan-pernyataan awal di bidang sejarah menitikberatkan pencariannya untuk menemukan kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan sebuah diskursus tercipta (Ritzer, 2008: 67). Diskursus (discourse) dapat diartikan sebagai cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektifitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik soisial tersebut, serta kesalingberkaiatan di antara semua aspek tersebut (Piliang, 2003: 16).
Foucault secara spesifik menganggap bahwa diskursus itu berbahaya, dan kekuasaan berupaya menggunakan kontrol atas bentuk-bentuk diskursus yang dianggap potensial melemahkannya. Pada poin ini, Foucault mengidentifikasi empat domain di mana diskursus terutama sekali dianggap membahayakan, yakni politik (kekuasaan), seksualitas (atau hasrat), kegilaan, dan secara umum apa yang dianggap benar atau palsu. Pada domain ketiga tersebut, Foucault memiliki kecenderungan mengikuti gagasan Nietzsche dengan mengidentifikasinya sebagai “kehendak kebenaran” atau “kehendak untuk berkuasa” (Ritzer, 2008: 79).
Secara sederhana, gagasan tersebut di atas menegaskan kesamaan Foucault dan Nietzche dengan menganggap bahwa ilmu pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Sains dianggap sebagai salah satu contoh ranah yang dilibatkan untuk membedakan yang benar dari yang palsu. Dalam membuat perbedaan semacam itu, ranah keilmuan secara implisit menyingkirkan kandungan ilmu pengetahuan alternatif seperti yang palsu (Ritzer, 2008: 79).
Pada persoalan ini, yakni pengasosiasian kehendak kebenaran dengan kehendak untuk berkuasa sama halnya dengan mengarahkan satu ranah keilmuan untuk berusaha mencapai hegemoni atas ranah-ranah yang lain. Artinya, ada kecenderungan sejarah mengarahkan antara kehendak untuk kebenaran dan kehendak untuk berkuasa sebagai sentral persoalan dan menetang diskursus dalam masyarakat (Ritzer, 2008).
Praktik diskursus yang merupakan bentuk asosiasi pengetahuan dan kekuasaan dalam pandangan Foucault dikupas dan diperikasa modus pembentukannya melalui genealogi. Foucault (dalam Ritzer, 2008: 80) mengartikan genealogi sebagai analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus, meskipun kritisisme diarahkan pada proses yang terdapat pada kontrol diskursus.
Melalui anasisa tersebut, pokok pemikiran yang diselidiki Foucault berkutat pada bagaimana manusia meregulasi dirinya sendiri dan yang lain melalui produksi dan kontrol pengetahuan. Lebih lanjut, Ritzer (2008:80-81) menjelaskan bahwa Foucault;
“Menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui pembentukan manusia sebagai subjek dan ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk mengatur subjek. Dia mengkritik hierarkisasi ilmu pengetahuan. Karena banyak ilmu pengetahuan (sains) yang berada pada tingkat yang lebih tinggi memiliki kekuasaan yang paling besar, ia menjadi muara beberapa kritik. Foucault tertarik dalam teknik-teknik, teknologi yang berasal dari ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan saintifik) dan bagaimana dipergunakan oleh pelbagai institusi untuk memaksakan kekuasaan atas rakyat.”
Melalui penjelasan perihal arkeologi ilmu pengetahuan dan genealogi kekuasaan yang digagas Foucault tersebut di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa kekuasaan bukan hanya berotasi pada represi fisik semata. Namun, Foucault juga menambahkan bahwa manusia berupaya mengakses kekuasaan melalui wacana ilmu pengetahuan. Dengan kataka lain, Foucault berupaya menyelidiki sejarah yang bergerak dari suatu sistem dominasi (berdasarkan pada ilmu pengetahuan) ke sistem yang lain.
Pada gilirannya, pemikiran kaum postmodernis/poststrukturalis tersebut utamanya Derrida dan Foucault memiliki sumbangsi besar bagi wacana poskolonial. Korelasi antara bahasa, pengetahuan, dan kekuasaan pada akhirnya dijadikan sebagai instrumen berpikir untuk mengkrtik sistem pengetahuan Barat (the occident) yang menegasikan Timur (the orient) dalam kajian poskolonial.
Selain teori Derrida dan Foucault, gagasan hegemoni Gramscian juga berpengaruh bagi kritik poskolonial. Dalam kaitannya, gagasan hegemoni Gramscian merupakan teori yang relevan. Bagi Gramsci, suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi (Simon, 2004: 19). Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas atas kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya disebut dengan hegemoni. Perantara tindak dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim, sedangkan hegemoni dilakukan dalam bentuk menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau lapisan masyarakat di bawahnya.
Secara literal hegemoni berarti ‘kepemimpinan’ yang pada zaman ini menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu, bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara ‘pemimpin’, tetapi konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks (Arief dan Nezar Patria, 2003: 115-116). Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu yang dalam suatu masyarakat, sesuatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (Faruk, 2005: 62-63).
Konsep hegemoni Gramsci dapat di elaborasikan dari argumennya tetang basis dan supremasi kelas:
(supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dala dua hal cara, sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan intelektual dan moral”, dan di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukan mereka, bahkan mungkin menggunakan kekuatan bersanjata; di lain pihak, kelompok-kelompok memimpin kelompok kerabat atau sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan kepemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan syarat-syarat utama untuk mendapatkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekan kekuasaan, tapi bahkan bila ia sudah memegang kekuasaan penuh di tangannya, dia masih harus “memimpin” juga (Gramsci, 1976;57-58, dalam Dhany, 2008).
Secara sederhana, teori tersebut melahirkan hubungan dua jenis kepemimpinan, yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Kedua jenis tersebut mengisyaratkan tiga hal, yaitu; Pertama, dominasi dijadikan atas seluruh musuh, dan hegemoni dilakukan kepada segenap sekutu-sekutunya. Kedua, hegemoni adalah suatu prakondisi untuk menaklukan aparatus negara atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemerintahan. Ketiga, sekali kekuasan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas ini, baik pengarahan maupun dominasi terus berlanjut (Simon, 2004: 118).
Selain itu, konsep hegemoni yang dikembangkan Gramsci juga berpijak mengenai kepemimpinan yang sifatnya ‘intelektual dan moral’. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya kesetujuan yang bersifat sukarela dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang memimpin. Kesetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara, commen sense, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan seterusnya, yang dapat ‘menyemen’ atau memperkokoh hegemoni tersebut. Di sisi lain, hegemoni terhadap kelas bawah tidak selamanya berjalan mulus, hambatan, dan rintangan bisa saja datang, terutama dari kelas-kelas yang tidak menerima hegemoni tersebut. Sehingga, untuk menangani ketidaksetujuan itu maka dilakukan tindakan dominasi yang represif melalui aparatus negara, misalnya polisi. Dua model kepemimpinan, yaitu dominasi dan hegemoni menjadi hal penting dalam teori hegemoni Gramscian.
Sumber: http://arhamjie.blogspot.co.id/2010/08/teori-teori-yang-terkait.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Absen dl y,,

 
;