Cakra Nakala


Tempuran, begitulah warga Gerbang Tinatar menyebut sebuah kedung  sungai yang dalam tempat pertemuan dua sungai besar itu.
“Kau harus berendam di dalamnya semalaman!”
Begitulah perintah Sang guru padamu, agar kau bisa merenungkan segala perbuatan yang telah kau lakukan dengan mendalam.
Partikel air memasuki seluruh lubang mikroskopis jaringan sel kulit, dalam tiga dimensi tubuhmu,  yang terdiri dari Sepuluh organ indriya yaitu lima organ sensorik (jinanendriyas) dan lima organ motorik (karmendriyas), dan sebuah antahkarana atau organ indera internalmu itu dengan seksama.
Perlahan tapi pasti dingin air mendobrak setiap sekat ruang dalam dimensi yang berbeda itu. Air dan dingin memang sesuatu yang berbeda namun sebenarnya satu dan padu dengan seluruh elemen yang ada di alam semesta. Satu kesatuan dalam jejaring laba-laba kehidupan yang sama.
Dingin terus meresapi jiwa dan membekukan jasad serta akal. Dalam pikiran liar  yang telah mampu memanjakan emosi dan nafsu. Kau terus mencoba memusatkan kekuatan untuk sekedar memberi sedikit kehangatan pada dunia khayal yang kau banggakan. Kekuatan partikel air yang berkolaborasi dengan angin malam seperti harmonisasi alunan nada dan irama yang otomatis mampu mendobrak syaraf, merasuk ke dalam aliran pembuluh darah, menggerakkan tubuhmu ikuti alunannya.
 Kau tak kuasa menahan dahsyat kekuatannya. Jasadmu menggigil hebat. Otakmu benar-benar membeku tak lagi mampu menjelajah untuk sekedar melakukan sintesa terhadap apa yang tersimpan dalam memori otakmu, terhadap apa yang pernah kau rasakan dalam sanubarimu. Sebelum jiwamu sepenuhnya benar-banar dikuasai sesal. Sesal yang sungguh teramat dalam. 
Aliran sungai terus beriak menggoda. Seakan berbisik agar kau meninggalkan ruang penat penyiksaan di alam terbuka itu. Ingin rasanya kau ikuti ajakannya itu seperti anjing yang berlarian mengejar tulang. Menerkamnya rakus! Puaskan kehendak nafsu. Namun, itu tak kau lakukan, kau hanya diam. Matamu semakin rapat terpejam. Hingga nampak kerut-kerutan di dahimu yang muda dan segar. Gigimu merapat kuat hingga rahangnya nampak menonjol keluar di antara pipi-pipimu.
 Wajah keriput berbalut kulit hitam yang terbakar terik mentari petani tua yang kau jumpai saat mengembara, setelah kau di usir dari Pesantren itu kembali membayang. Dengan senyum mengembang petani tua itu memberimu makanan saat kau hampir mati kelaparan karena tersesat di tengah hutan. Meski tak selengkap seperti yang biasa kau santap di meja makan, Hanya singkong bakar dan seteguk air sumber. Ternyata itu saja sudah mampu membuatmu hidup kembali. Tidak perlu ribet dengan perhitungan gizi dan kalori.
 Tangismu pecah seketika mengingat semua itu. Sekejab saja riak sungai yang menggodamu tak lagi terdengar. Berganti deru suara tangis hatimu yang menggema di dada bak guntur menggelegar di seluruh dimensi dalam diri dan jiwamu.
Air mata sesal menguasaimu hingga mengebaskan hati. Butiran embun hinggap di kuncup kembang liar yang mulai mekar, wangi dan menggoda. Wajah-wajah penuh cinta dan pengharapan padamu. Muncul dengan tiba-tiba dengan jelas di layar hologram benakmu. Memicu kekuatan antahkaranamu yang selama ini tersumbat dalam gelimangan harta dan kesenangan dunia kebangsawanan di masa kecilmu.
Sekuntum bunga yang aromanya wangi khas melati berhasil masuk dengan begitu kuat mendobrak benakmu yang telah beku. Hangat menjalari hatimu. Putih suci berseri bersselimut kilau kemilau nur sejati. Cinta, itulah kekuatan yang mengusai hatimu sekarang ini. Membuatmu bertahan di ruang penat kedung sungai tempuran semalaman. Sebagai penebus kenakalanmu selama ini. Kau sadar selama ini telah memuja nafsu dan membiarknya merajai jagad kecil dalam dirimu. Berjudi sambung ayam, foya-foya dan hura-hara. Hingga kau lupakan amanah orang tua, tanggungjawab dan kewajibanmu dalam menuntut ilmu.
Betapa beruntungnya dirimu di saat orang bersusah payah hanya untuk sekedar bertahan hidup. Mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan sesuap nasi. Kau mendapati kesenangan itu dari awal tangis di hari kelahiranmu. Saat kau masih asyik bermain, anak sebaya dirimu yang lain bertarung dengan nasib miskin. Kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki.
Pedagang dan petani harus bangun  di pagi buta untuk menjemput rejeki. Saat kau masih terkungkung dalam lelap tidur yang panjang. Kau berkesempatan untuk sekolah, kau dapat menuntut ilmu dengan segala fasilitas yang tak bisa sembarangan orang dapati. Tapi kau salah gunakan itu dengan ke tidak sungguhanmu. Kini cinta pertamamu telah menyapa. Hadirkan kekuatan rahasia yang mengaliri seluruh saraf dan indramu yang membeku. Saat angkara murka paripurna. Warnamu kembali putih bercahaya.
“Gadis manis, siapakah namamu? ” Bayangnya timbulkan seulas senyum dalam wajahmu. Berpendar cahaya memancar dari tubuhmu yang basah.
Awal perjumpaan yang tragis. Saat musim daun merangggas. Begitulah seleksi alam agar tetap bisa terus bertahan hidup. Di tengah dilemma itu kau putuskan tidak kembali pulang saat kemarahan gurumu memuncak menghadapi kenakalanmu. Dia memintamu kembali pulang melalui embanmu yang setia dan selalu memanjakanmu.
Di pasar itu saat kau jual barang-barang milikmu yang bisa digunakan untuk sekedar mengganjal perutmu yang lapar. Cakra Nakala, pusaka kebanggaanmu. Senjata yang menemani pengembaraanmu selama ini. Harus kau relakan berpindah tangan. Beruntung kau dapatkan Putri cantik berhati lembut itu.
“Tunggu aku perlu tahu siapa dirimu? Agar kelak aku bisa mencarimu jika aku punya uang untuk menebus kembali pusaka itu.” Ucapmu penuh harap dengan tatapan yang mengendalikan.
“Carilah Putri Cakraningrat.” Jawabnya singkat.
Suara itu seprtinya mampu menembus hingga relung jiwamu. Mengusik batinmu. Kau benar-banar berada di alam yang sama sekali berbeda setiap kali mengingatnya. Getaran yang aneh. Mampu membuatnya tertawa sendiri. Sebelum kau tersadar arus sungai mulai meninggi hingga menutup kedua lubang hidungmu. Kau coba menahan nafas. Kedua kakimu kuat mencengkeram dasar sungai. Air melahap habis sekujur tubuhmu hingga tak nampak sama sekali. Arus pun kembali tenang.
Kyai Imam Besari, sang guru yang diam-diam mengamati. Nampak terkagum dibalik anggukan yang dibalut dengan senyum yang samar di kegelapan malam. Tak menyangka bocah nakal dan manja itu memiliki niat dan tekad yang bulat juga. Semakin yakin dia dengan mimpinya yang mengabarkan bahwa dia bisa menjadi penangkal kelaparan yang akan melanda warga Gerbang Tinatar selepas kepergiannya. Usaha yang tak sia-sia mengembalikanya ke pesantren Gerbang Tinatar.
Burung Srikatan berkicauan dengan gerak lincahnya di antara dahan dan reranting pohon bambu liar yang tumbuh rindang di sepanjang pinggir aliran sungai. Kokok Ayam hutan seakan mengabarkan pada dunia bahwa pagi mulai menjelang.
Kau muncul dari dalam air dengan muka berseri secerah mentari pagi. Tegak melangkah menuju Pesantren Gerbang Tinatar untuk mengejar ketertinggalan pelajaran. Itulah efek dari terbukanya antahkarana dalam dirimu. Dialah yang mendorong tubuhmu untuk segera merespon apa yang kamu inginkan. Antahkarana tersusun atas pikiran sadar (conscious) dan bawah sadar (subconscoius). Jika antahkarana menginginkan sesuatu, maka jasadlah yang bekerja menurutinya. Kau lahap semua kitab. Kau dalami ilmu hikmah dan makrifat. Untuk sementara haus ilmu membuatmu lupa pada bunga melati yang putih dan mewangi. Meski tak sadar kau terus menyirami dan menyemainya di kala sunyi.
“Kejarlah dari atas sesuatu yang sulit kau gapai dari bawah,” begitu pesan sang guru sebelum kau mulai kembali belajar.
Dalam waktu singkat kau telah berhasil mengejar ketertinggalan. Pikiran sesungguhnya buta. Dengan pertolongan hati nurani maka pikiran bisa melihat dan memvisualisasikan sesuatu. Selain itu antahkarana juga sebagai gerbang olah batin yang mampu membuat manusia bisa menerawang kejadian pada masa lalu dan masa yang akan datang. Begitulah hari-harimu, kau habiskan untuk mereguk madu ilmu dengan hikmah nur sejati. Hingga sampai saat ilmumu setara dengan gurumu kau bisa kembali pulang.
Saat itulah rayuan wangi putih melati kembali menggoda. Wajah Putri Cakraningrat ada di awan putih yang beterbangan, pada rerimbun hijau daun-daun di pepohonan, tarikannya semakin kuat menjerat seperti deras aliran air membawa arus. Hingga luruh tak tersisa menuju samudra cinta.
Dalam Perjalanan pulang Ki Tanujoyo sahabat, guru mistik dan juga embanmu  itu, memintamu untuk segera pulang. Sang Nenek sudah tak sabar ingin mengajari banyak hal. Sesampainya di rumah sang Nenek menyambutmu penuh cinta dan kerinduan. Begitu pula dengan keluargamu yang lain.
“Gus, setelah pondasi ilmu kau dapat di Pesantran. Nenek akan mengajarimu sastra jawa.” Kau sudah berubah. Tak lagi membantah pinta nenek yang teramat mengasihimu itu seperti saat kecil dulu.
Pembentukan jiwa seni oleh nenekmu sendiri menjadikanmu seorang pujangga berpengetahuan luas. Di dunia kasusastran Jawa, nenekmu  amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa.
“Kau telah mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa cucuku, itu cukup sebagai bekalmu berkarya.” Ucapnya sambil meminumkan segelas air putih sebagai pengijasahan atas tuntasnya seluruh pelajaran.
Kau memulai karirmu sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya. Dalam serat ini kau berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, kau juga menulis banyak hal tentang sisi kehidupan.
Setelah dirasa cukup Raden Tumenggung Sastranegara yang tidak lain adalah nenekmu itu menyerahkanmu kepada Gusti Pangeran Harya Buminata. Agar kau benar-benar matang. Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman serta ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan, kau peroleh dari berguru dengan Pangeran Buminata.
“Proses inilah proses pendewasaan dirimu Gus, agar kau siap terjun ke masyarakat langsung dan siap menghadapai segala macam cobaan dan dinamika kehidupan.” Ucap sang guru bijak.
Dan benar saja di masyarakat kau mendapat banyak ujian. Semua orang rela melakukan apa saja, mengadaikan apa saja asal mendapat harta dan kekayaan. Khusunya dikalangan pejabat pemerintahan. Dari tulisan-tulisanmu begitu banyak orang yang merasa terganggu. Beberapa kali kau coba dibunuh.
Seperti saat perjalananmu menuju Surakarta setelah pengembaraan dari Timur. Gerombolan rampok dengan memakai kedok hitam di wajahnya. Menghadangmu.
“Berhenti! Serahkan semua barang bawaanmu.”
“Siapa kalian?”
“Jangan banyak bacot! Cepat serahkan atau nyawamu taruhannya.”
Dengan sigap kau tangkas semua serangan dengan tangan kosong. Ilmu kanuraganmu yang selama ini kau asah akhirnya ada gunanya juga. Dengan senang hati kau layani begundal-begundal perampok itu hingga lari tunggang langgang ketakutan.
***
Sementara itu di sebuah rumah megah seorang tengah marah besar. Dia tak sendiri. Ada beberapa orang yang berpakaian putih berseragam tentara Belanda. Cuma dia yang memakai pakaian khas adat jawa lengkap.
“Dasar bodoh! Membunuh seekor lalat saja tak bisa kalian.” Tamparan dan pukulan sembarangan di daratkan pada tubuh yang juga sudah lebam-lebam penuh bercak darah.
“Untuk mengehadapi manusia seperti dia kita tidak perlu kekerasan.” Ucap salah seorang Menir Belanda dengan logat bule yang khas.
“Apa usul Menir?”
“Serahkan saja pada Ek!”
***
Cakra Nakala membuat Putri Cakrningrat suka mengembara. Saat di Kediri, kau yang tertarik dengan Kisah Prabu Joyoboyo menelusuri setiap petunjuk yang menjelaskan tentang karya-karyanya yang merupakan ramalan masa depan. Sesampainya di hutan dan hendak mencari sumber air Putri Cakraningrat juga sedang mengambil air di mata air itu.
“Sepertinya aku mengenalmu.”
“Kau yang membeli pusakaku, Cakra Nakala.”
“Sedang apa kau di sini?”
“Aku sedang jalan-jalan.”
“Apa yang kau cari di hutan belantara seperti ini, Putri?”
“Kedamian.”
“Bolehkah aku mendamaikanmu?”
“Jemput aku di Cakraningrat.”
Pertemuan yang singkat di mata air kehidupan itu. Teramat berkesan bagimu. Hingga tak sekejabpun bisa kau lupakan. Membuatmu semakin bersemangat belajar. Hingga akhirnya bersamaan dengan diangkatnya kau menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau Rangga Panjanganom.  Pernikahanmu dengan Raden Ajeng Gombak, Sang bunga melati putih yang wangi dari Cakraningrat itu pun dilangsungkan. Agar harmonis kau putuskan untuk membuang pusaka Cakra Nakala. Cakra yang membuat masa kecilmu nakal dan membuat Raden Ajeng Gombak menjadi suka keluyuran.
Kau secara rutin mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat alamiah, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ke tempat-tempat yang dapat menggembleng pribadimu. Seperti saat mengembara ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali.
Kau mendapat kesempatan berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, kau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
 Sekembali dari berguru, kau tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian kau dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka. Ketika jaman Sri Paduka Paku Buwono VI, kau diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnya bertempat tinggal di Pasar Kliwon
Pemikiranmu tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialmu termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihanmu dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati kau ramal kematianmu sendiri. Karena kau tahu ada orang-orang yang berencana untuk membunuhmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Absen dl y,,

 
;