Sang Pencangkul

Terik dalam benak masih terus saja meradang. Siang tak kunjung pamit pulang. Kau masih saja berteman dengan tanah batu. Tanah batu? iya, sebenarnya hanya tanah hitam biasa hanya saja telah berubah keras karena telah lama tak terguyur hujan. Dahulu, jauh sebelum kau mengenal kata Global Warming kau betah berlama-lama di hutan, sawah dan ladang. Bahkan sudah kau anggap mereka semua sebagai sahabatmu sendiri. Namun, akhir-akhir ini sahabat yang dulu kau bangga-banggakan itu, kini tak ramah lagi, bahkan menjadi buas, bringas dan kejam.
"Apa salahku pada kalian? Kenapa begitu tega kalian membuatku menderita seperti ini." gumammu tak jelas, suaramu parau antara haus dan terhalang tekanan duka yang dalam.
Kenangan indah saat bersama sahabat-sahabatmu dulu kembali membayang. Pagi itu kau naik di atas punggung kerbau, seruling bambu yang kau tiup begitu merdu hingga angin sejuk sepoi-sepoi mengikuti kemanapun langkahmu. Cahaya mentari menyinari penuh kehangatan. Rumput hijau yang subur terhamparan di antara rindang huta.
"Ah, kenapa sekejab saja berubah menjadi panas, gersang, dan mengerikan seperti ini! Hutanku yang dulu sekejab saja disulap menjadi lahan. Sungguh jika aku tahu akan begini jadinya tak kuikuti ajakan para Blandong sialan itu."
Sesal memang adanya di belakang. Setidaknya semua itu bisa mengingatkanmu. Betapa dulu kau juga telah berbuat kejam pada sahabat-sahabat yang telah menjagamu itu. Kini kau menyesal, apa yang hendak kau lakukan setelah pohon-pohon besar yang berusia ribuan tahun itu kau tebang? Sesal sudah tiada guna. Kau hanya bisa memejamkan mata. Merenungi, menghayati dan memikirkan pelajaran Alam Sekitar Kita yang dulu pernah kau dapat waktu SD. Reboisasi, sebuah jawaban dari berbagai pertanyaan yang bisa kau jawab dengan benar saat bu guru menanyaimu itu tiba-tiba terus saja terngiang-ngiang.
***
Ada angin sedang asyik berdansa meliuk dan berputar dengan lincah dihadapanmu, membawa udara kering sebagai selendangnya, bergaunkan debu, bermahkotakan daun kering dan kertas beraneka warna menghias serta plastik dari tempat pembuangan sampah semakin indah kala menyapu berpendar mentari yang ganas membakar permukaan bumi. Sudah yang kali kelima ini kau jumpai tanmanmu itu kering. Tak kuasa menahan terik yang teramat. Kau hanya bisa menangis dan tak tahu lagi harus menanam dengan cara apa lagi di cuaca yang terik dan ganas seperti itu.
"Seruling!"
Entah dapat bisikan dari mana setelah sekian lama kau lupakan alat musik itu. Tiba-tiba kau kembali mengingat dan mencarinya. Kau coba mengingat dimana terakhir kali kau letakkan seruling bambu warisan turun temurun kakek buyutmu itu. Juga kerbaumu yang kau jual untuk membayar denda agar kau terbebas dari hukuman kurungan karena tertangkap nyolong kayu. Kerbau yang amat kau sayangi itu dengan terpaksa kau jual. Dengan berat hati kau abaikan weling kakek buyutmu sebelum meninggal.
"Berjanjilah ngger! Tak akan kau jual kerbau warisan turun temurun keluarga kita itu."
"Innjih Kek. Aku Janji!"
Namun, dengan terpaksa kau ingkari. Hingga sudah hampir sepuluh tahunan ini, kau tak berani untuk sekedar berziarah ke makam para leluhurmu. Meski dalam mimpi mereka selalu menemuimu. Mereka rindu dengan cerita-ceritamu, kisahmu dengan Sekar, Gadis Dayak yang berkulit putih, bermata bening, dan beraromakan nafas yang khas itu. Bukankah kau sangat mencintainya dan begitu pula dengan dirinya? Kenpa kau tidak lagi mau mengunjungi Pusara leluhurmu? Berbagai pertanyaan dalam mimpi hanya kau biarkan menguar dan hilang bersama arama nafamu saat menguap setiap kali bangun tidur itu.
"Nah! Ini ketemu juga kau seruling ku sayang." Kau kecup lembut seruling bambu kuning itu setelah kau bersihkan dengan baju kusutmu.
Kau mainkan seruling itu sepenuh hati. Tak lupa kau iringi dengan syi'ir Sholawat nabi. Angin sepoi-sepoi mendekati. Mendung di langit mulai menggantung. Petir menyambar. Hujan pun turun. Alunan seruling bambu terus mengalun hingga mentari menyapamu dengan senyum hangat sahabat dekat. Kau rentangkan kedua tanganmu seakan hendak memeluk seseorang. Matamu terpejam penuh penghayatan. Dengan tulus kau ucapkan, "Selamat datang kawan."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Absen dl y,,

 
;